WONOSOBO, suaramerdeka-kedu.com - Kejaksaan Negeri memberikan Restorative Justice (RJ) kepada pelaku penganiayaan. Salah satu pertimbangan persetujuan RJ pada kasus tersebut adalah ancaman pidana tidak lebih dari lima tahun. RJ sekaligus mematahkan stigma bahwa hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Proses pengajuan Restorative Justice (RJ) oleh Kejari Wonosobo disetujui oleh JAM PIDUM kejaksaan Agung melalui rapat online pada Selasa (6/12). Kejari Wonosobo mengajukan RJ terhadap tersangka AK yang melakukan tindak penganiayaan dan disangka melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP.
Kepala Kejari Efendri Eka Saputra menjelaskan, kejadian penganiayaan yang dilakukan tersangka bermula dari rasa cemburu dan emosi karena korban mengajak kenalan istri tersangka di media sosial Facebook.
Baca Juga: Regrouping 36 SD di Purworejo Selesai, Masih Sisakan Segelintir Persoalan
Ketika korban dan tersangka bertemu di rumah istri tersangka terjadilah penganiayaan yang dilakukan oleh tersangka kepada korban. Kajari berupaya melakukan mediasi kepada kedua belah pihak serta dibantu perangkat desa dari pihak tersangka dan korban.
"Hingga akhirnya pada hari Senin tanggal 21 November tercapai kesepakatan perdamaian diantara kedua belah pihak tersebut. Dalam perdamaian tersebut pihak korban menerima permintaan maaf dari tersangka dan tersangka memberikan pengganti uang berobat dan tali asih kepada korban," jelas Kajari pada Selasa (6/7).
Kebijakan RJ, lanjut Kajari, merupakan bentuk kepedulian terhadap masyarakat dan melaksanakan kebijakan yang menjadi inovasi dari Jaksa Agung tersebut. Selain itu juga agar memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat biasa, bahwa dalam menjalankan kewenangan penegak hukum tak boleh terjebak dalam kepastian hukum dan keadilan prosedural semata.
Baca Juga: Gedung Kesenian Tidak Dapat Difungsikan Hingga 2023, Dalam Proses Rehab
"Sehingga mengabaikan keadilan substansial yang sejatinya menjadi tujuan utama hukum itu sendiri. Padahal perlu diingat bahwa Equm et Bonum Est Lex Legum atau apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum. Sehingga slogan hukum tumpul ke atas tajam ke bawah dapat terbantahkan," tegas Kajari.
Dia menambahkan, hal yang menjadi dasar disetujuinya RJ adalah tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana tidak lebih dari lima tahun, sudah ada perdamaian antara kedua belah pihak, dan juga adanya respon positif dari masyarakat sekitar agar masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan.
"Selain itu luka korban yang sudah sembuh dan tersangka mengganti biaya pengobatan serta memberi santunan tali asih kepada korban juga menjadi pertimbangan untuk dilaksanakannya RJ ini," tutup Efendri.
Seperti diketahui, kebijakan RJ termaktub melalui Peraturan Jaksa Agung (Perja) No.15 Tahun 2020 yang diundangkan pada tanggal 22 Juli 2021 diharapkan mampu menyelesaikan perkara tindak pidana ringan (Tipiring)selesai tanpa ke meja hijau. Sejak dikeluarkannya Perja itu, sudah lebih dari ratusan perkara telah dihentikan Jaksa diseluruh tanah air. (ang)