MAGELANG, SUARA MERDEKA - Merayakan Hari Lahir Pancasila tak melulu upacara bendera. Atau, berdeklamasi dengan intonasi itu-itu saja; sepenggal demi sepenggal suku kata.
Atau, merasa diri paling Pancasilais di antara yang lain.
Mural Wayang Pancasila, misalnya, di Dusun Gatak Lamat, Desa Pucungrejo, Kecamatan Muntilan. Menurut salah satu kreatornya, Yulius Iswanto (49), mural ini hadir untuk memperingati kelahiran dasar negara tiap 1 Juni itu.
Terdapat dua dinding yang jadi "kanvas" Iswanto dan warga setempat. Dinding satu, membentang 9 panel dengan tema beragam, tetapi merujuk pada dua hal: wayang, khususnya Panakawan, dan Pancasila.
Panel pertama, terletak di gang masuk, tampak Panakawan tengah memberi hormat kepada Arjuna. Ini, kata Iswanto, ejawantah dari sila keempat.
Baca Juga: Ayo Rukun, Karya Katarsis dari Perupa Magelang
Ada pula adegan Gareng, Petruk, Bagong sungkem kepada Semar; Panakawan yang memakai busana adat daerah; Semar menjadi guru bagi anak-anaknya, dan juga abdi dalem Cangik dan Limbuk; hingga Puntadewa bersama Gareng dan Petruk menanam pohon yang menggambarkan kelestarian lingkungan.
"Saya gambarkan dengan Panakawan. Panakawan dipandang sebagai tokoh yang merakyat," kata Iswanto di lokasi mural, Selasa (31/5).
"Dari arti kata, pana artinya tahu dan kawan artinya menemani. Meskipun tampak sebagai abdi, mereka setia dan menemani (rakyat)," lanjut warga Dusun Karangwatu, Desa Pucungrejo, Kecamatan Muntilan itu.
Dinding satunya lagi, persis di hadapan mural wayang, terpampang besar enam tokoh kondang Indonesia: Soekarno, Soepomo, Mohammad Yamin, Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Cut Nyak Meutia.