MAGELANG, SUARA MERDEKA - Cinta rasa-rasanya perlu digugat. Atas nama cinta, terkadang tindakan seseorang bikin keblinger. Atau, malah frustrasi bila bersitegang dengan kebenaran yang teranut.
Kumbakarna barangkali ada tokoh yang apes. Ia mati dua kali; satu di jagad wayang, satu dalam fabel. Mati pertama sebab membela Alengka dari serbuan wanara (kera) kiriman Rama. Serbuan yang dipicu tindakan Rahwana, kakak Kumbakarna, yang menculik Sinta, istri Rama.
Mati kedua akibat tembakan senapan dari Mini Freza, seekor tikus, yang jengkel atas kehadiran Kumbakarna dengan petuah-petuah kebenarannya. Hadirnya Kumbakarna ialah untuk Miki Krekoz yang diperalat istrinya, Mini Freza, demi harta, tahta, benda.
Jalinan kisah antara cinta tanah air dan gugatan cinta ini muncul dalam pentas lakon Kumbokarno Gugat oleh Mendut Institute. Pentas yang dihelat di Teater Arena Tourist Information Center (TIC) Borobudur, Senin (28/3/2022).
Tentrem Lestari, penulis naskah cum sutradara, mengatakan naskah lakon Kumbokarno Gugat sebenarnya telah digubah pada 2015. Naskah ini disiapkan, waktu itu, untuk sebuah festival drama garapan Kemendikbud.
Baca Juga: Lewat Seni, Mereka Meretas dari Penjara
Pada 2021, Balai Bahasa Jawa Tengah mengganjar Kumbokarno Gugat dengan penghargaan Prasidatama kategori naskah drama terbaik.
"Saya mengangkat Kumbakarna karena anak-anak sekarang, menurut saya, miskin tokoh legenda. Memahami epos Ramayana, misalnya, ikon (yang) mereka (tahu) hanya Rama, Sinta, Rahwana," ujar Tentrem.
Mengambil kata Gugat, alih-alih Gugur seperti kebanyakan judul lakon atau carangan soal
Kumbakarna, menurut Tentrem, lantaran krisisnya nasionalisme dewasa ini.
Kumbakarna, soal nasionalisme, bisa jadi contoh. Sekalipun ia sangat menentang tindakan Rahwana yang menculik Sinta dan menawannya di Taman Argasonya.